Jaga Ekosistem, Tertibkan Tambang Ilegal

0
3

PIDIE – Keberadaan tambang emas illegal di Provinsi Aeh terus menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, dampak ekologis dari aktivitas illegal ini dinilai jauh lebih berat.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf menyerukan akan segera menata praktik pertambangan illegal menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR) agar aktifitas tambang bisa memberi manfaat kepada masyarakat di Aceh, sekaligus juga menjaga keseimbangan alam.
“Kepada pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pertambangan harus segera melaporkan seberapa luas lahan pertambangan yang mereka punya agar segera bisa dijadikan WPR,” ujar gubernur.

Menyikapi hal ini, pemerintah kabupaten Pidie, mengaku sudah menindak lanjuti instruksi gubernur tersebut. Plt Asisten II Setda kabupaten Pidie, Apriadi, menyebutkan pemerintah Kabupaten Pidie sudah melaporkan luas areal Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebesar 2.266 Ha.

“Jadi Pemerintah Kabupaten Pidie sudah melaporkan WPR nya, agar segera ditindaklanjuti,” ujar Apriadi, dalam dialog Jaring Opini Publik, yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi, Informasi dan Persandian Aceh, yang berlangsung di sebuah warung kopi di Keuniree, Pidie.
Apriadi menyebutkan ada tiga lokasi yang diajukan sebagai WPR, yakni Kawasan Tangse, Geumpang dan Mane. “Saat ini kita terus menyosialisasikan kepada masyarakat tentang upaya perubahan status dari tambang illegal menjadi WRP, proses sedang berjalan, pastinya tidak serta merta, tapi ini sedang berjalan, sejak gubernur mengeluarkan intruski bahwa aktifitas tambang harus diubah menjadi WPR,” katanya.

Dikesempatan yang sama, Penelaah Teknis Kebijakan Dinas ESDM Aceh, Chalid Muksin, mengatakan sudah ada 4 kabupaten yang sudah mengajukan lokasi-lokasi WPR nya, yakni,Kabupaten nagan Raya, KabupatenAceh Barat, Kabupaten Pidie dan kabupaten Gayo Lues.
“ESDM sendiri juga sedang menyiapkan tim untuk melakukan survey apakh WPR yang diajukan layak atau tidak, sesuai SOP yang ada, memang agak Panjang jalannya tapi harus dilakukan agar proses pertambangan dan keseimbangan alam bisa selaras,” katanya.

Direktur WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menegaskan agar pemerintah dalam halini ESDM harus komitmen bahwa WPR yang nanti ditetapkan adalah lokasi yang memang sudah melakukan penambangan dan penambangan dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga pengawasannya bisa dilakukan dengan bijak.

“Tidak ada wilayah yang tidak menjadi rusak akibat aktifitas pertambangan, Aceh bisa belajar dari daerah yang sudah berhasil melaksanakan WPR, setidaknya jika WPR ditetapkan,” sebut Ahmad Solihin.
Data terbaru menunjukkan bahwa hingga Oktober 2024, luas area PETI di Aceh mencapai 8.107,65 hektar, meningkat 25 persen dari tahun sebelumnya. Sebagian besar aktivitas ini terjadi di lahan negara, termasuk hutan lindung dan hutan produksi.***